Kepulauan
Bangka-Belitung (Babel) adalah salah satu provinsi di Pulau Sumatera,
Indonesia. Disebut kepulauan, karena wilayah provinsi ini terdiri dari
beberapa pulau. Salah satu di antaranya adalah Pulau Bangka, yang
terletak di sebelah timur Pulau Sumatera. Secara topografis, wilayah
Pulau Bangka terdiri dari rawa-rawa, daratan rendah, dan perbukitan. Di
daerah perbukitan terdapat hutan lebat, sedangkan pada daerah rawa
terdapat hutan bakau.
Menurut sebuah cerita yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Pulau
Bangka, pada zaman dahulu di daerah perbukitan yang dihampari hutan
lebat itu, pernah hidup seorang pemuda yatim-piatu yang miskin.
Sehari-harinya, ia bekerja sebagai pemburu babi hutan. Suatu ketika,
pemuda itu mendapat hadiah berupa perhiasan emas, intan permata dan
berlian dari seseorang sehingga ia menjadi kaya-raya. Apa sebenarnya
yang telah dilakukan pemuda itu, sehingga ia mendapat hadiah yang sangat
berharga itu? Ingin tahun jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Si
Penyumpit berikut ini!
* * *
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di sebuah daerah di Pulau Bangka,
hiduplah seorang pemuda yang sangat mahir menyumpit binatang buruan.
Sumpitannya selalu mengenai sasaran. Oleh karenanya, masyarakat
memanggilnya si Penyumpit. Selain mahir menyumpit, ia juga pandai
mengobati berbagai macam penyakit. Bakat menyumpit dan mengobati
tersebut ia peroleh dari ayahnya.
Pada suatu hari, Pak Raje, Kepala Desa di kampung itu, meminta si
Penyumpit untuk mengusir kawanan babi hutan yang telah merusak tanaman
padinya yang sedang berbuah, dengan dalih bahwa orang tua si Penyumpit
sewaktu masih hidup pernah berhutang kepadanya. Demi membayar hutang
orang tuanya, si Penyumpit rela bekerja pada Pak Raje.
Keesokan harinya, berangkatlah si Penyumpit ke ladang Pak Raje untuk
melaksanakan tugas. Sesampainya di ladang, ia membakar kemenyan untuk
memohon kepada dewa-dewa dan mentemau (dewa babi), agar kawanan babi
tersebut tidak merusak tanaman padi Pak Raje. Si Penyumpit kemudian
melakukan ronda dengan memantau seluruh sudut ladang hingga larut malam.
Sudah tiga malam si Penyumpit meronda, namun belum terlihat tanda-tanda
yang mencurigakan. Meskipun situasi aman, si Penyumpit terus
berjaga-jaga.
Ketika memasuki malam ketujuh, dari kejauhan tampak oleh si Penyumpit
tujuh kawanan babi hutan sedang beriring-iringan hendak memasuki ladang.
Satu per satu babi hutan itu melompati pagar batu yang telah dibuat Pak
Raje. Mengetahui hal itu, si Penyumpit segera bersembunyi di balik
sebuah pohon besar dengan sumpit di tangan yang siap untuk digunakan.
Ketika kawanan babi tersebut mulai mengobrak-abrik tanaman padi yang tak
jauh dari pohon tempat ia bersembunyi, dengan hati-hati pemuda itu
mengangkat sumpitnya, lalu disumpitkannya ke arah babi yang paling dekat
dengannya. Sumpitannya tepat mengenahi sisi sebelah kiri perut babi
itu. Sesaat kemudian, kawanan babi itu tiba-tiba menghilang bersama
dengan anak sumpitnya. Melihat peristiwa aneh itu, si Penyumpit menjadi
penasaran.
Keesokan harinya, si Penyumpit menyusuri ceceran darah hingga ke tengah
hutan. Sesampainya di tengah hutan, ia menemukan sebuah gua yang di
sekelilingnya ditumbuhi semak-belukar. Dengan hati-hati, pemuda itu
memasuki gua tersebut. Sesampainya di dalam, ia sangat terkejut, karena
melihat seorang putri yang tergeletak di atas pembaringan yang
dikelilingi oleh wanita-wanita cantik. Salah seorang dari wanita
tersebut adalah ibu sang Putri.
“Hai, anak muda! Engkau siapa?” tanya ibu sang putri.
“Saya si Penyumpit,” jawab si pemuda dengan ramah.
“Ada perlu apa Engkau ke sini?” tanya ibu sang putri dengan nada menyelidik.
“Saya sedang mencari anak sumpit saya yang hilang bersama dengan seekor babi hutan,” jawabnya.
“Benda yang engkau cari itu ada pada putriku,” kata ibu sang putri.
“Bagaimana bisa anak sumpit saya ada pada putri Bibi?” tanya si Penyumpit heran.
“Ketahuilah, anak muda! Babi yang engkau sumpit itu adalah penjelmaan putriku,‘ jelas ibu sang putri.
Si Penyumpit sangat kaget mendengar penjelasan ibu sang putri.
“Jadi…, kalian adalah babi jadi-jadian?” tanya si Penyumpit dengan heran.
“Benar, anak muda,” jawab ibu sang putri.
“Kalau begitu, saya minta maaf, karena tidak mengetahui hal itu,” kata si Penyumpit dengan rasa menyesal.
“Sudahlah, anak muda. Lupakan saja semua kejadian itu. Yang penting
sekarang adalah bagaimana melepaskan benda ini dari perut putriku,” kata
ibu sang putri.
“Baiklah. Saya akan melepaskan anak sumpit itu dan mengobati luka putri
bibi. Tolong saya dicarikan beberapa helai daun keremunting[1] dan
tumbuklah hingga halus,” pinta si Penyumpit.
Untuk memenuhi permintaan itu, ibu sang putri segera memerintahkan
beberapa dayangnya untuk mencari daun keremunting yang banyak terdapat
di sekitar mereka. Tak berapa lama, dayang-dayang tersebut sudah kembali
dengan membawa daun yang dimaksud. Setelah yang diperlukan disiapkan,
si Penyumpit mendekati gadis cantik yang sedang terbaring lemas itu,
lalu membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Tampaklah sebuah benda
runcing yang menancap di perut sang putri, yang tidak lain adalah mata
sumpit miliknya. Sambil mulutnya komat-kamit membaca mantra, si
Penyumpit mencabut mata sumpit itu dengan pelan-pelan. Setelah mata
sumpit terlepas, bekas luka tersebut kemudian ditutupinya dengan daun
keremunting yang sudah dihaluskan untuk menahan cucuran darah yang
keluar.
Beberapa saat kemudian, luka sang putri sembuh dan tidak meninggalkan bekas luka sedikit pun.
“Sekarang putri Bibi sudah sembuh. Izinkanlah saya mohon diri,” pamit pemuda itu dengan sopan.
“Baiklah, anak muda! Ini ada oleh-oleh sebagai ucapan terima kasih kami,
karena engkau telah menyembuhkan putriku. Bungkusan ini berisi kunyit,
buah nyatoh,[2] daun simpur,[3] dan buah jering.[4] Tapi, bungkusan ini
jangan dibuka sebelum engkau sampai di rumah,” pesan ibu sang putri.
“Baik, Bi!” jawab pemuda itu, lalu pergi meninggalkan gua.
Setibanya di rumah, si Penyumpit segera membuka bungkusan tersebut.
Alangkah terkejutnya ia, karena isi bungkusan itu tidak seperti yang
disebutkan ibu sang putri. Bungkusan itu ternyata berisi perhiasan
berupa emas, berlian, dan intan permata.
“Waw…, berharga sekali benda ini!” tanya si Penyumpit dengan rasa kagum.
“Dengan benda ini, aku akan menjadi kaya-raya,” gumamnya dengan perasaan gembira.
Keesokan harinya, si Penyumpit pergi menjual seluruh benda berharga itu
kepada seorang saudagar kaya di kampung itu. Hasil penjualannya ia
gunakan untuk membeli ladang yang luas, rumah mewah, dan melunasi
seluruh hutang ayahnya kepada Pak Raje.
Sejak itu, tersiarlah kabar bahwa si Penyumpit telah menjadi kaya-raya.
Berita itu juga didengar oleh Pak Raje. Ia pun berniat untuk mengikuti
jejak si Penyumpit. Suatu hari, Pak Raje meminjam sumpit pemuda itu dan
kemudian pergi berburu babi hutan di ladang miliknya. Dalam
perburuannya, ia berhasil menyumpit seekor babi. Setelah itu ia
mengikuti jejak dan menemukan babi hutan itu, yang ternyata penjelmaan
sang putri. Pak Raje berusaha menyembuhkan luka yang diderita oleh sang
Putri, namun tidak berhasil karena ia tidak memiliki keahlian mengobati
penyakit. Akhirnya, ia diserang berpuluh-puluh babi hutan. Dengan tubuh
yang penuh luka-luka, ia berjalan sempoyongan pulang ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, Pak Raje langsung tergeletak tidak sadarkan diri,
karena tidak tahan lagi menahan rasa sakit.
Putri sulung Pak Raje segera menyampaikan nasib malang yang menimpa
ayahnya itu kepada si Penyumpit. Mendengar kabar itu, si Penyumpit
segera ke rumah Pak Raje untuk menolongnya. Si Penyumpit kemudian
mengobati Pak Raje dengan 7 helai daun. Setelah itu ia membakar
kemenyan, lalu menyebut satu per satu anggota tubuh Pak Raje, seperti
tangan, kaki, kepala, dan lain-lain. Terakhir, ia menyebut nama Pak
Raje. Ketika asap kemenyan itu mengepul, di Penyumpit kemudian membaca
mantera. Tak lama kemudian, tampak jari tangan Pak Raje bergerak-gerak.
Dengan pelan-pelan ia mengusap-usap matanya hingga tiga kali. Akhirnya,
Pak Raje sadarkan diri dan sembuh dari penyakitnya.
Setelah itu Pak Raje insaf (sadar) dan mengakui semua kesalahannya kepada si Penyumpit.
“Terima kasih, Penyumpit! Kamu telah menyembuhkan penyakitku. Aku minta
maaf karena telah memaksamu menjaga ladangku. Untuk menebus kesalahanku
ini, aku akan menikahkanmu dengan putri bungsuku. Setelah itu, aku akan
mengangkatmu menjadi Kepala Desa untuk menggantikanku. Bersediakah kamu
menerima tawaranku ini, wahai Penyumpit?” tanya Pak Raje.
“Terima kasih, Pak Raje! Dengan senang hati, saya bersedia,” jawab si Penyumpit.
“Baiklah kalau begitu. Berita gembira ini akan segera aku sampaikan kepada seluruh warga kampung ini,” kata Pak Raje.
Satu minggu kemudian, pernikahan si Penyumpit dengan putri bungsu Pak
Raje dilangsungkan dengan meriah. Berbagai macam seni pertunjukan
ditampilkan dalam acara tersebut. Pak Raje bersama keluarganya beserta
seluruh warga desa turut bergembira atas pernikahan itu. Di akhir acara,
Pak Raje menyerahkan jabatannya sebagai Kepala Desa kepada menantunya
yang baik hati itu. Sepasang insan yang baru menjadi suami-istri itu
hidup berbahagia. Warganya pun hidup tentram dan damai di bawah perintah
Kepala Desa yang baru, si Penyumpit.
* * *
Demikian cerita rakyat Si Penyumpit dari Pulau Bangka, Kepulauan
Bangka-Belitung. Cerita di atas mengandung pesan-pesan moral yang dapat
dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Sedikitnya ada
dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu sifat suka
menolong dan pandai membalas budi.
Pertama, sifat suka menolong. Sifat ini tercermin pada perilaku
si Penyumpit yang telah menyembuhkan penyakit sang Putri dan Pak Raje.
Sifat ini termasuk sifat yang terpuji dan sangat diutamakan dalam
kehidupan orang Melayu, sebagaimana dikatakan dalam untaian syair
berikut ini:
wahai ananda dengarlah manat,
tulus dan ikhlas jadikan azimat
berkorban menolong sesama umat
semoga hidupmu beroleh rahmat
Kedua, sifat pandai berbalas budi. Sifat ini tercermin pada sikap
ibu sang Putri yang telah memberikan hadiah kepada si Penyumpit berupa
perhiasan emas, intan dan berlian, karena telah menyembuhkan penyakit
putrinya. Demikian pula, Pak Raje yang telah menikahkan putri bungsunya
dengan si Penyumpit, karena telah menyembuhkan penyakitnya. Sifat ini
termasuk sifat yang terpuji dan sangat diutamakan dalam kehidupan orang
Melayu, sebagaimana dikatakan dalam ungkapan berikut ini:
apa tanda melayu pilihan,
membalas budi ia utamakan
Source :
http://melayuonline.com